Review Jurnal : Terbentuknya Akad dalam Hukum
Perjanjian Islam
Pengarang :
Afdawaiza*1
NAMA ANGGOTA
1.
RIZKY NAILUVAR
(26210179)
2.
YESI KURNIYATI
(28210624)
3.
RATNA SARI
(25210672)
4.
DILLA OETARI. D
(22210016)
5.
AHRARS BAWAZIER (29210101)
KELAS
: 2EB05
Abstract
The field of
social affairs of Islamic law has been paid attention more betterrecently. This
indicates by the emerging of many kinds of the finance and syariah business
institution.Besides, it also enlarging of Islamic court authority in handling
the cases not only inheritance, the last will, gifth, and the waqf but also
those of syariah economics. Hence, it is urgent need to study the basic
principles that becoming the substance of transaction. Departing from these
basic principles can support to handle the cases that arise in this field of
Islamic law. This contrary to the model of Islamic jurists that always study
many kinds of particular transactions without describing the general principle.
This article aims to describe the general principles of the elements and the
criteria
Keywords:
akad, perjanjian, prinsip, Islam, dan sengketa.
I.
Pendahuluan
Salah satu
persoalan mendasar yang dihadapi oleh fiqih muamalah era kontemporer sekarang
ini adalah bagaimana hukum Islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk
trnasaksi ekonomi kontemporer serta perkembangannya yang belum didapat
pengaturannya dalam kitab-kitab fiqih klasik. Hal ini dapat dimaklumi, karena
para fuqaha klasik telah mengkaji fiqih muamalah secara atomistik, di mana para
fuqaha langsung masuk ke dalam aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa
merumuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan menyemangati
perjanjian-perjanjian khusus tersebut.
Sementara
itu, aspek yang paling penting dari fikih muamalat dalam kaitannya dengan
ekonomi Islam adalah hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas
umum kontrak dan ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah
satu aspek dari asas-asas umum tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan
syarat akad sebagai unsur pembentuk akad. Tanpa merumuskan hal ini terlebih
dahulu, maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang dimungkinkan
muncul dari berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi
yurisdiksinya Peradilan Agama tersebut. Makalah ini selanjutnya akan berusaha
membahas permalahan rukun dan syarat akad tersebut.
II.
Perbedaan Pemaknaan Istilah Rukun dan Syarat
Untuk
terbentuknya akad, maka diperlukan unsur pembentuk akad.
1 Syamsul
Anwar. 1996. “Hukum Perjanjian dalam Islam; Kajian Terhadap Masalah Perizinan
(Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek)”, Laporan Penelitian Pada Balai
Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun
1996, hlm. 3
2 Yang
tercakup ke dalam bidang ekonomi syariah tersebut adalah Bank Syariah, Lembaga
Keuangan Mikro Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksadana
Syariah, Obligasi Syariah dan Surat Berhargha Berjangka Menengah Syariah,
Sekuritas Syariah, Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiunan
Lembaga Keuangan Syariah dan Bisnis Syariah. Lihat Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tantang Peradilan Agama, pasal 49.
Hanya saja,
di kalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur
pembentuk tersebut (rukun dan syarat akad). Menurut jumhur fuqaha, rukun akad
terdiri atas:3
1.
Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
2. Mahallul
Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
3. Sighat
Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan
ijab dan qabul
III. Rukun
dan Syarat Akad
A. Rukun dan
Syarat Akad Pertama: Al-‘Aqidain (Para Pihak)
Ijab dan
qabul sebagai esensi akad tidak dapat terlaksana tanpa adanya al-‘aqidain
(kedua pihak yang melakukan akad). Agar ijab dan qabul benar-benar mempunyai
akibat hukum, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ijab dan
qabul dinyatakan oleh sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz yakni bisa
menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, hingga ucapannya itu
benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain ijab dan qabul harus
keluar dari orang yang cakap melakukan tindakan-tindakan hukum.
Dilihat dari
segi kecakapan melaksanakan akad, sebagian di antara manusia tidak dapat
melaksanakan akad apapun, sebagian lagi bisa melaksanakan akad tertentu dan
sebagian lagi cakap melakukan semua akad. Adanya perbedaan kualifikasi dalam
melakukan akad antara satu orang dengan yang lain sangat ditentukan oleh
permasalahan ahliyyah (kelayakan melakukan akad). Berikut ini akan diberikan
penjelasan tentang permasalahan ahliyyah ini.
Demikian
juga seseorang dapat menjadi wakil atau kuasa bagi orang lain untuk menutup
suatu perjanjian. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan seseorang melakukan akad
dengan dirinya sendiri baik sebagai pihak asil (prinsipil) di satu sisi dan di
pihak lain dalam waktu yang sama juga menjadi wakil pihak lain, atau sekaligus
menjadi wakil dari dua pihak dalam penutupan perjanjian. Bentuk kedua akad
perwakilan ini adalah tidak sah, karena pada asasnya dalam hukum Islam penutupan
perjanjian dengan diri sendiri tidak boleh dilakukan kecuali ayah atau kakek
yang mewakili anak atau cucu
di bawah
perwaliannya.20 Hal ini karena tindakan tersebut membawa pertentangan
kepentingan sebab satu orang yang sama menjadi kreditor dan debitur serta
penyerah dan penerima sekaligus dalam waktu yang sama. Satu orang yang sama
tidak dapat menjadi sangkutan hak-hak yang saling berhadapan.
B. Rukun dan
Syarat Akad Kedua: Pernyataan Kehendak
Pernyataan
kehendak yang biasanya disebut sebagai sighat akad, yakni suatu ungkapan para
pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan
janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran
yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul ini merepresentasikan
perizinan (ridha, persetujuan) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan
kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad.22 Agar
ijab dan qabul ini menimbulkan akibat hukum, maka disyaratkan dua hal. Pertama,
adanya persesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai adanya
persesuaian kehendak sehingga terwujud kata sepakat. Kedua, persesuaian
kehendak tersebut haruslah disampaikan dalam satu majelis yang sama (kesatuan
majelis)
1.
Persesuaian ijab dan qabul.
Pernyataan
kabul disayaratkan adanya keselarasan atau persesuaian terhadap ijab dalam
banyak hal. Pernyataan jawaban yang tidak sesuai dengan ijab tidak dinamakan
sebagai qabul. Penjual kitab menjual kitabnya dengan harga Rp 30.000, kemudian
pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp 20.000, maka akad tidak terjadi dalam keadaaan
ini. Begitu juga, keserasian qabul harus sesuai dalam berbagai sifat. Seperti
ijab menjual sepetak kebun, lalu qabul menyatakan separohnya, maka akad tidak
Jika
perselisihan qabul terhadap ijab tersebut justru menguntungkan pihak mujib,
ketidakserasian ini tidak menjadi penghalang berlangsungnya akad, karena yang
demikian itu tidak dinamakan perselisihan dalam akad akan tetapi penambahan
dalam kesepakatan (qabul bi al-mubalaghah). Misalnya, jika pihak pembeli
menyatakan ijab dengan harga Rp. 10.000, pihak penjual menyatakan qabul dengan
harga Rp 9.000, atau pihak penjual menyatakan ijab dengan harga Rp.9.000 dan
pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp. 10.000.
b.
Pernyataan akad melalui tulisan. Selain melalui perkataan lisan, akad juga
dilakukan melalui tulisan. Dalam fungsinya sebagai pernyataan kehendak, tulisan
mempunyai fungsi dan kekuatan yang sama dengan akad secara lisan. Akad dalam
bentuk ini sangat tepat untuk akad yang dilaksanakan secara berjauhan dan
berbeda tempat. Akad ini dapat juga digunakan untuk perikatan-perikatan yang
lebih sulit seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan
ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam
bentuk tertulis karena diperlukan alat bukti dan tanggungjawab terhadap
orang-orang yang yang bergabung dalam badan hukum tersebut. Dalam hal tidak
satu tempat ini, akad dapat dilaksanakan melalui tulisan dan mengirimkan
utusan. Dalam hal ini terdapat kaidah fiqih: “tulisan bagi orang yang hadir
sepadan dengan pembicaraan lisan orang yang hadir”.26
c.
Penyampaian ijab melalui tulisan, bentuknya adalah bahwa seseorang mengutus
orang lain kepada pihak kedua untuk menyampaikan penawarannya secara lisan apa
adanya. Hal ini beda dengan penerima kuasa, di mana ia tidak sekedar
menyampaikan kehendak pihak pemberi kuasa (al-muwakkil) melainkan juga
melakukan tindakan hukum berdasarkan kehendaknya sendiri atas nama pemberi
kuasa, sedang utusan tidak menyatakan kehendaknya sendiri melainkan
menyampaikan secara apa adanya kehendak orang yang mengutusnya (al-mursil).
Bila kehendak pengutus telah disampaikan kepada mitra janji dan mitra tersebut
telah menerima ijab tersebut (menyatakan qabulnya) pada majelis tempat
dinyatakan ijab itu, maka perjanjian telah terjadi. Bila ijab tersebut
disampaikan tanpa adanya perintah dari prisipal, kemudian diterima oleh mitra
janji, maka akadnya dianggap terjadi akan tetapi berstatus mauquf, karena ia
dianggap sebagai pelaku tanpa kewenangan (fuduli).
Hanya saja
para fuqaha berbeda pandangan tentang kapan bentuk isyarat ini digunakan bagi
orang yang normal. Ada yang menganggapnya sebagai pengecualian ketika cara lain
tidak dapat dipergunakan. Syafi’i tidak membolehkan digunakannya bentuk
pernyataan kehendak secara tulisan, tentunya untuk isyarat lebih-lebih tidak
membolehkannya. Yang paling fleksibel adalah pendapat mazhab maliki yang
membenarkan penggunaan isyarat oleh siapapun juga sekalipun bukan orang yang
cacat. Akad dapat terjadi dengan segala cara yang bisa menunjukkan perizinan
(ridha) para pihak.
2. Kesatuan
Majelis Akad
Sebelumnya
telah dijelaskan berbagai cara untuk menyatakan kehendak, salah satunya adalah
dengan tulisan, atau secara lisan dimana masing-masing pihak tidak berada dalam
kesatuan majelis, melalui telepon misalnya. Sementara itu, para fuqaha
menyatakan bahwa salah satu syarat akad adalah harus dilaksanakan dalam satu
majelis akad.
C. Rukun dan
Syarat Akad Ketiga: Objek Akad
Rukun ketiga
dari akad ini adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya
akibat hukum yang ditimbulkannya. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda,
jasa atau pekerjaan atau suatu hal lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariat.
b. Sifat
objek akad tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak
dapat ditransaksikan bila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan
untuk diadakan transaksi. Bendanya yang tidak berharga atau bertentangan dengan
aturan syariat, maka objek akad yang seperti ini tidak bisa ditransaksikan.
c. Objek
akad tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak sah akad
terhadap benda-benda yang bertentangan dengan ketertiban umum. Termasuk ke
dalam perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum ini adalah riba dan
klausul-klausul perjanjian yang bertentangan dengan syarak.46
D. Rukun dan
Syarat Akad Keempat: Tujuan Akad47
Mazhab
Maliki membahas konsep motif ini dalam kerangka sadd al-zari’ah (tindakan
preventif). Dalam kasus jual beli perasan anggur kepada orang yang akan
menjadikannya sebagai khamar, dengan alasan sadd al-zari’ah, maka jual beli tersebut
menjadi batal. Dengan kerangka berpikir seperti inilah mazhab ini mengharamkan
jual beli bai’ al-‘inah yakni jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan
sejumlah uang melalui pinjaman dengan penangguhan waktu, dan ini adalah riba
yang dilarang.
Menurutnya,
harga harus ada saat dibuatnya akad dan tidak dapat ditentukan kemudian
berdasarkan harga pasar atau diserahkan penentuannya kepada pihak ketiga.
Intinya akad harus mempunyai consideration, baik pembayaran dilakukan seketika
di majelis akad, pada waktu sebelum diserahkan atau pada yang sudah ditentukan.
VI. Penutup
Pembaharuan
dan modernisme mulai berkembang pesat di dunia Islam semenjak awal abad ke-20,
karena sebagian negara-negara muslim mulai mendapatkan kadaulatan politiknya.
Periode pasca kemerdekaan negara-negara Islam ditandai dengan beberapa situasi
baru yang sebagian merupakan konsekwensi logis dari meodernisasi periode
sebelumnya. Kemerdekaan dan kedaulatan itu sendiri sesungguhnya mengandung
makna perubahan yang sangat luas meliputi seluruh aspek bernegara dan
bermasyarat, khususnya dalam bidang tekonologi dan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar