expand

Kamis, 31 Mei 2012

REVIEW JURNAL PERJANJIAN


Review Jurnal       : Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam
Pengarang             :  Afdawaiza*1
Sumber                  : http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/153/118

NAMA ANGGOTA                                         
1.     RIZKY NAILUVAR              (26210179)
2.     YESI KURNIYATI                (28210624)
3.     RATNA SARI                      (25210672)
4.     DILLA OETARI. D               (22210016)
5.     AHRARS BAWAZIER         (29210101)
KELAS                                                            : 2EB05

Abstract
The field of social affairs of Islamic law has been paid attention more betterrecently. This indicates by the emerging of many kinds of the finance and syariah business institution.Besides, it also enlarging of Islamic court authority in handling the cases not only inheritance, the last will, gifth, and the waqf but also those of syariah economics. Hence, it is urgent need to study the basic principles that becoming the substance of transaction. Departing from these basic principles can support to handle the cases that arise in this field of Islamic law. This contrary to the model of Islamic jurists that always study many kinds of particular transactions without describing the general principle. This article aims to describe the general principles of the elements and the criteria
Keywords: akad, perjanjian, prinsip, Islam, dan sengketa.
I. Pendahuluan
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh fiqih muamalah era kontemporer sekarang ini adalah bagaimana hukum Islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk trnasaksi ekonomi kontemporer serta perkembangannya yang belum didapat pengaturannya dalam kitab-kitab fiqih klasik. Hal ini dapat dimaklumi, karena para fuqaha klasik telah mengkaji fiqih muamalah secara atomistik, di mana para fuqaha langsung masuk ke dalam aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa merumuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan menyemangati perjanjian-perjanjian khusus tersebut.
Sementara itu, aspek yang paling penting dari fikih muamalat dalam kaitannya dengan ekonomi Islam adalah hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak dan ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari asas-asas umum tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentuk akad. Tanpa merumuskan hal ini terlebih dahulu, maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang dimungkinkan muncul dari berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi yurisdiksinya Peradilan Agama tersebut. Makalah ini selanjutnya akan berusaha membahas permalahan rukun dan syarat akad tersebut.
II. Perbedaan Pemaknaan Istilah Rukun dan Syarat
Untuk terbentuknya akad, maka diperlukan unsur pembentuk akad.
1 Syamsul Anwar. 1996. “Hukum Perjanjian dalam Islam; Kajian Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek)”, Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996, hlm. 3
2 Yang tercakup ke dalam bidang ekonomi syariah tersebut adalah Bank Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi Syariah dan Surat Berhargha Berjangka Menengah Syariah, Sekuritas Syariah, Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiunan Lembaga Keuangan Syariah dan Bisnis Syariah. Lihat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tantang Peradilan Agama, pasal 49.
Hanya saja, di kalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur pembentuk tersebut (rukun dan syarat akad). Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:3
1. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
2. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
3. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul
III. Rukun dan Syarat Akad
A. Rukun dan Syarat Akad Pertama: Al-‘Aqidain (Para Pihak)
Ijab dan qabul sebagai esensi akad tidak dapat terlaksana tanpa adanya al-‘aqidain (kedua pihak yang melakukan akad). Agar ijab dan qabul benar-benar mempunyai akibat hukum, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ijab dan qabul dinyatakan oleh sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz yakni bisa menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain ijab dan qabul harus keluar dari orang yang cakap melakukan tindakan-tindakan hukum.
Dilihat dari segi kecakapan melaksanakan akad, sebagian di antara manusia tidak dapat melaksanakan akad apapun, sebagian lagi bisa melaksanakan akad tertentu dan sebagian lagi cakap melakukan semua akad. Adanya perbedaan kualifikasi dalam melakukan akad antara satu orang dengan yang lain sangat ditentukan oleh permasalahan ahliyyah (kelayakan melakukan akad). Berikut ini akan diberikan penjelasan tentang permasalahan ahliyyah ini.
Demikian juga seseorang dapat menjadi wakil atau kuasa bagi orang lain untuk menutup suatu perjanjian. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan seseorang melakukan akad dengan dirinya sendiri baik sebagai pihak asil (prinsipil) di satu sisi dan di pihak lain dalam waktu yang sama juga menjadi wakil pihak lain, atau sekaligus menjadi wakil dari dua pihak dalam penutupan perjanjian. Bentuk kedua akad perwakilan ini adalah tidak sah, karena pada asasnya dalam hukum Islam penutupan perjanjian dengan diri sendiri tidak boleh dilakukan kecuali ayah atau kakek yang mewakili anak atau cucu
di bawah perwaliannya.20 Hal ini karena tindakan tersebut membawa pertentangan kepentingan sebab satu orang yang sama menjadi kreditor dan debitur serta penyerah dan penerima sekaligus dalam waktu yang sama. Satu orang yang sama tidak dapat menjadi sangkutan hak-hak yang saling berhadapan.
B. Rukun dan Syarat Akad Kedua: Pernyataan Kehendak
Pernyataan kehendak yang biasanya disebut sebagai sighat akad, yakni suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul ini merepresentasikan perizinan (ridha, persetujuan) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad.22 Agar ijab dan qabul ini menimbulkan akibat hukum, maka disyaratkan dua hal. Pertama, adanya persesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai adanya persesuaian kehendak sehingga terwujud kata sepakat. Kedua, persesuaian kehendak tersebut haruslah disampaikan dalam satu majelis yang sama (kesatuan majelis)
1. Persesuaian ijab dan qabul.
Pernyataan kabul disayaratkan adanya keselarasan atau persesuaian terhadap ijab dalam banyak hal. Pernyataan jawaban yang tidak sesuai dengan ijab tidak dinamakan sebagai qabul. Penjual kitab menjual kitabnya dengan harga Rp 30.000, kemudian pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp 20.000, maka akad tidak terjadi dalam keadaaan ini. Begitu juga, keserasian qabul harus sesuai dalam berbagai sifat. Seperti ijab menjual sepetak kebun, lalu qabul menyatakan separohnya, maka akad tidak
Jika perselisihan qabul terhadap ijab tersebut justru menguntungkan pihak mujib, ketidakserasian ini tidak menjadi penghalang berlangsungnya akad, karena yang demikian itu tidak dinamakan perselisihan dalam akad akan tetapi penambahan dalam kesepakatan (qabul bi al-mubalaghah). Misalnya, jika pihak pembeli menyatakan ijab dengan harga Rp. 10.000, pihak penjual menyatakan qabul dengan harga Rp 9.000, atau pihak penjual menyatakan ijab dengan harga Rp.9.000 dan pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp. 10.000.
b. Pernyataan akad melalui tulisan. Selain melalui perkataan lisan, akad juga dilakukan melalui tulisan. Dalam fungsinya sebagai pernyataan kehendak, tulisan mempunyai fungsi dan kekuatan yang sama dengan akad secara lisan. Akad dalam bentuk ini sangat tepat untuk akad yang dilaksanakan secara berjauhan dan berbeda tempat. Akad ini dapat juga digunakan untuk perikatan-perikatan yang lebih sulit seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk tertulis karena diperlukan alat bukti dan tanggungjawab terhadap orang-orang yang yang bergabung dalam badan hukum tersebut. Dalam hal tidak satu tempat ini, akad dapat dilaksanakan melalui tulisan dan mengirimkan utusan. Dalam hal ini terdapat kaidah fiqih: “tulisan bagi orang yang hadir sepadan dengan pembicaraan lisan orang yang hadir”.26
c. Penyampaian ijab melalui tulisan, bentuknya adalah bahwa seseorang mengutus orang lain kepada pihak kedua untuk menyampaikan penawarannya secara lisan apa adanya. Hal ini beda dengan penerima kuasa, di mana ia tidak sekedar menyampaikan kehendak pihak pemberi kuasa (al-muwakkil) melainkan juga melakukan tindakan hukum berdasarkan kehendaknya sendiri atas nama pemberi kuasa, sedang utusan tidak menyatakan kehendaknya sendiri melainkan menyampaikan secara apa adanya kehendak orang yang mengutusnya (al-mursil). Bila kehendak pengutus telah disampaikan kepada mitra janji dan mitra tersebut telah menerima ijab tersebut (menyatakan qabulnya) pada majelis tempat dinyatakan ijab itu, maka perjanjian telah terjadi. Bila ijab tersebut disampaikan tanpa adanya perintah dari prisipal, kemudian diterima oleh mitra janji, maka akadnya dianggap terjadi akan tetapi berstatus mauquf, karena ia dianggap sebagai pelaku tanpa kewenangan (fuduli).
Hanya saja para fuqaha berbeda pandangan tentang kapan bentuk isyarat ini digunakan bagi orang yang normal. Ada yang menganggapnya sebagai pengecualian ketika cara lain tidak dapat dipergunakan. Syafi’i tidak membolehkan digunakannya bentuk pernyataan kehendak secara tulisan, tentunya untuk isyarat lebih-lebih tidak membolehkannya. Yang paling fleksibel adalah pendapat mazhab maliki yang membenarkan penggunaan isyarat oleh siapapun juga sekalipun bukan orang yang cacat. Akad dapat terjadi dengan segala cara yang bisa menunjukkan perizinan (ridha) para pihak.
2. Kesatuan Majelis Akad
Sebelumnya telah dijelaskan berbagai cara untuk menyatakan kehendak, salah satunya adalah dengan tulisan, atau secara lisan dimana masing-masing pihak tidak berada dalam kesatuan majelis, melalui telepon misalnya. Sementara itu, para fuqaha menyatakan bahwa salah satu syarat akad adalah harus dilaksanakan dalam satu majelis akad.
C. Rukun dan Syarat Akad Ketiga: Objek Akad
Rukun ketiga dari akad ini adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkannya. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan atau suatu hal lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat.
b. Sifat objek akad tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan bila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan untuk diadakan transaksi. Bendanya yang tidak berharga atau bertentangan dengan aturan syariat, maka objek akad yang seperti ini tidak bisa ditransaksikan.
c. Objek akad tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak sah akad terhadap benda-benda yang bertentangan dengan ketertiban umum. Termasuk ke dalam perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum ini adalah riba dan klausul-klausul perjanjian yang bertentangan dengan syarak.46
D. Rukun dan Syarat Akad Keempat: Tujuan Akad47
Mazhab Maliki membahas konsep motif ini dalam kerangka sadd al-zari’ah (tindakan preventif). Dalam kasus jual beli perasan anggur kepada orang yang akan menjadikannya sebagai khamar, dengan alasan sadd al-zari’ah, maka jual beli tersebut menjadi batal. Dengan kerangka berpikir seperti inilah mazhab ini mengharamkan jual beli bai’ al-‘inah yakni jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah uang melalui pinjaman dengan penangguhan waktu, dan ini adalah riba yang dilarang.
Menurutnya, harga harus ada saat dibuatnya akad dan tidak dapat ditentukan kemudian berdasarkan harga pasar atau diserahkan penentuannya kepada pihak ketiga. Intinya akad harus mempunyai consideration, baik pembayaran dilakukan seketika di majelis akad, pada waktu sebelum diserahkan atau pada yang sudah ditentukan.
VI. Penutup
Pembaharuan dan modernisme mulai berkembang pesat di dunia Islam semenjak awal abad ke-20, karena sebagian negara-negara muslim mulai mendapatkan kadaulatan politiknya. Periode pasca kemerdekaan negara-negara Islam ditandai dengan beberapa situasi baru yang sebagian merupakan konsekwensi logis dari meodernisasi periode sebelumnya. Kemerdekaan dan kedaulatan itu sendiri sesungguhnya mengandung makna perubahan yang sangat luas meliputi seluruh aspek bernegara dan bermasyarat, khususnya dalam bidang tekonologi dan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar