expand

Minggu, 29 Mei 2011

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA


OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

* Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah sering disandingkan meknanya dengan desentralisasi dalam penyelenggaraan Negara, kendati secara akademik dedua istilah tersebut bisa dibedakan.Kedua kata itu jaga sering dipersandingkan dalam pelaksanaan pemerintahan di lapangan. Karena itu, pembahasan tentang otonomi daerah tidak mungkin dilakukan tanpa mempersandingkannya dengan konsep desentralisasi. Konsep ini berusaha menghadirkan tatanan baru di era reformasi (setelah jatuh orde baru), ketika masyarakat mengharapkan adanya iklim baru dalam pengelolaan pemerintahan.
Desentralisasi merupakan system pengelolaan pemerintahan yang berkebalikan dengan sentralisasi.Jika sentralisasi adalah pemusatan pengelolaan, maka desentralisasi adalah pembagian dan pelimpahan. Menurut asal-usul kebahasaan, istilah otonomi berasal dari kata yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti perintah. Otonomi mempunyai makna memerintah sendiri. Dalam konsep administrasi public daerah otonom sering disebut sebagai local self government. Daerah otonom praktis berbeda dengan daerah saja yang merupakan penerapan dari kebijakan yang dalam wacana administrasi public disebut sebagai local self government.
Otonomi daerah mengandung makna bahwa pemerintah daerah memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Sarundajang, 1999: 27)Secara prinsipil terdapat dua aspek yang terkandung dalam otonomi, yaitu hak dan wewenang untuk mengelola daerah dan bertanggung jawab terhadap kegagalannya. Sedangkan istilah daerah merujuk kepada local state government, yang berarti pemerintah di daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan pusat.
Berdasarkan penjelasan di atas, desentralisasi mempunyai pengertian yang sama dengan otonomi daerah. Keduanya mengandung makna pelimpahan wewenang dari pemerintah pusatke pemerintahan di bawahnya. Makna perbedaannya adalah desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan pada organ penyelenggaraan Negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
Secara terbatas otonomi mempunyai arti kemandirian, sedangkan untuk makna luas otonomi bermakna pemberdayaan (Winarna Surya Adisubrata, 1999:1). Dalam hal ini,suatu daerah mempunyai hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan atau intervensi pimpinan pusat berdasarkan undang-undang yang digunakan.Dengan demikian, pengertian otonomi daerah adalah kemendirian suatu daerah dalam membuat keputusan untuk mengatur daerahnya sendiri (Syarif Hidayat, 2000:93).Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar (external intervention).
Sedangkan menurut M. Turner dan D. Hulme (dalam Teguh Yuwono[ed.], 2001:27)desentralisasi adalah pemindahan kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan public dari pemerintah pusat kepada agen atau individu yang lebih dekat kepada public yang dilayani. Landasan yang mendasari pemindahan kewenangan ini adalah territorial dan fungsional. Teritorial berarti menempatkan kewenangan pada tingkat pemerintah yang lebih rendah dalam wilayah hirarkis, secara geografis harus menyediakan pelayanan.Sedangkan fungsional berarti pemindahan kepada agen yang secara fungsional terspesialisasi.Teguh Yuwono [ed.] (2001:28) memberikan makna desentralisasi sebagai perpindahan tanggung jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat kepada unit dibawahnya, otoritas regional maupun fungsional.

* Sejarah otonomi daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1 Tahun 1945. Ditetapkannya Undang-undang ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertibangan tentang sejarah pemerintahan di Indonesia di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-undang ini ditetapkan 3(tiga) jenis daerah otonomi, karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya Undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi)kepada daerah undang-undang ini berumur kurang lebih tiga tahun karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 berfokus kepada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam Undang-undang ini ditetapkan 2 (dua) jenis daerah otonomi, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa, serta 3 (tiga) tingkatan daerah otonomi yaitu propinsi, kabupaten/kota besar,desa/kota kecil.
Undang-undang Nomor 1Tahun 1957 yaitu ketentuan yang mengatur system otonomi terdapat dalam pasal 31 ayat 1,2,dan 3.yaitu sbagai berikut:
Ayat 1:DPRD mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah, kecuali yang menurut Undang-undang ini diserahkan pada pemerintah lain;
Ayat 2 :Tanpa mengurangi ketentuan ayat 1, dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tetapi diatur dan diurus oleh DPRD sejak pembentukannya.
Ayat 3 : Dengan peraturan pemerintahan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1985 yang disinyalir oleh beberapa ahli mengikuti system Undang-undang No.1Tahun 1957.undang-undang ini menyatakan melaksanakan system otonomi riil dimana hamper seluruhnya menyerap subtansi Undang-undang No 1 Tahun 1957 dan Undang-undang No 5 Tahun 1974 (perturan tunggal yang berlaku Indonesia),UU No 18 Tahun 1965 (mengatur otonomi seluas-luasnya), serta UU No 5 Tahun 1974.
Undang-undang No 5 Tahun 1974, UU ini mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintah yang menjadi tugas pemerintan pusat di daerah.Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi otnomi yang riil dan seluas-luasnya tetapi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Undang-undang No 22 Tahun 1999,pada tanggal 7 Mei 1999 presiden B.J. Habibie menandatangani undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang wewenang dan pembagian wilayah antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah muncuknya dari proses tuntutan reformasi disegala bidang kehidupan. Berdasarkan hasil Sidang Istimewa MPR Tahun 1998 yang menetapkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/ 1998.ketetapan itu berisi masalah penyelenggaraan otonomi daerah,pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-undang No. 25 Tahun 1999,UU ini memghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam UU no 5 Tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasi. Sedangkan desentralisasi dalam UU No. 22 Tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi.

* Visi Otonomi Daerah
Visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: politik, ekonomi, serta social dan budaya (Syaukani, et. al., 2002, h. 172-176). Di bidang politik, karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus difahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang di pilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang resposif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban public.
Demokratisasi pemerintahan juga berarti adanya transparansi kebijakan. Artinya untuk setiap kebijakan yang diambil harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, apa tujuannya, berapa ongkos yang harus dipikul, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal.Otonomi Daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun system dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif,serta mengembangkan system manajemen pemerintahan yang efektif.
Di bidang ekonomi, otontmi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masysrakat ketingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Di bidang social dan budaya otonom daerah harus dikelolasbaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni social, dan pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai local yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon inamika kehidupan di sekitarnya.


* Prinsip-Orinsip Otonomi Daerah
Prinsip- prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah (Nur Rifa’I Masykur, peny., h. 21)
  1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi. Keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
  2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada ekonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
  3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
  4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar- daerah.
  5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandiriandaerah otonom,dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan,kawasan industry, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya belaku ketentuan peraturan daerah otonom.
  6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislative daerah, baik fungsi legislative, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas pnyelenggaraan pemerintahan daerah..
  7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yangdilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan. Tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desayang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

sumber :
http://kanal3.wordpress.com/2010/11/01/sejarah-otonomi-daerah-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar